Tepian Sungai Cicatih, 18 Februari 1998

Hari sudah gelap. Bukan karena matahari akan tenggelam. Tapi karena awan hitam menggantung begitu tebalnya di langit. Saya duduk terdiam di tepi sungai. Memandang aliran air yang ada di depan mata saya, sambil menjaga perahu karet dan peralatannya, sementara yang lain pergi mengintai jeram di depan. Perasaan saya campur aduk. Antara was-was, gelisah, seram dan entah apa lagi. Air sungai teramat deras mengalir dan bergejolak dengan hebatnya di depan mata saya seperti ini. Belum lagi suaranya yang menderu-deru di telinga. Perasaan saya tidak enak. Sebagian dari diri saya ingin berada di tempat lain saat itu.

Teman-teman yang lain pun datang. Dan Ujang, rekan kapten perahu dalam perjalanan saat itu, berkata kepada saya, “Kencangkan pelampung dan helm. Kalau terjadi apa-apa, berenang ke arah kiri!” Jantung saya berdebar semakin kencang. Memang tak ada pilihan lain. Tebing begitu curam sisi sungai. Mengangkat perahu sama saja mustahil. Dengan patuh saya ikat kembali tali pelampung serta helm sekencang mungkin. Kami pun segera mengambil posisi masing-masing dan bersiap menghadapi jeram yang menghadang di depan.

Di tengah deru sungai, jalur kiri terus kami ambil sambil mendekati jeram yang membentuk drop. Perahu berjalan begitu cepatnya di arus yang deras. Sedetik kemudian saya merasakan benturan yang amat hebat. Tiba-tiba tampak di depan mata saya, perahu melengkung sedemikian rupa hingga saya bisa melihat bagian depan dan belakang… sekaligus. Detik berikutnya, saya dan Ujang terlempar ke sebuah batu besar yang ternyata dihantam oleh perahu kami. Dua rekan seperjalanan, dalam sekejap lenyap ditelan sungai. Sementara perahu yang berisi sisa tiga rekan lainnya sudah hilang dari pandangan mata.

Dengan cepat saya dan Ujang memanjat batu besar itu dan berlari ke arah hilir. Kami bertemu dengan dua rekan yang berhasil menepi dengan susah payah. Kami berempat berusaha mendaki tebing tanah yang ada di hadapan kami. Tanpa berpikir panjang, kami pun lari tanpa berhenti menerobos semak belukar yang penuh dengan duri, menyusuri sungai yang tampak di bawah kami sambil berharap menemukan kawan kami yang lain. Perasaan saya semakin campur aduk. Bayangan perahu yang terbalik atau menyangkut di batu terus menghantui.

Saya tak tahu, sudah berapa lama kami berlari, hingga kami sampai di area persawahan. Di situlah tiba-tiba kami bertemu rekan kami yang lain! “Semua selamat!”, salah seorang dari mereka berseru. Namun perahu masih ada di air, di bawah ujung jembatan. Sambil berlari menyeberangi jembatan, saya melihat dua rekan lainnya berusaha mengeluarkan air dari perahu. Begitu sampai, kami hanya bisa mengosongkan perahu dari sisi kanan. Sisi kirinya sudah dialiri oleh arus yang semakin deras. Jika kami terlambat, air sungai yang semakin tinggi bisa saja kembali menyeret perahu. Kami pun bergerak semakin cepat, seiring dengan senja yang semakin larut.

Malam itu kulit saya terasa amat perih saat tersentuh air. Setengah empat pagi, saya masih tak bisa tidur. Masih terngiang di telinga saya deru Sungai Cicatih. Jika saya memejamkan mata, aliran sungailah yang saya lihat. Masih terbayang semua yang saya alami sebelumnya. Perahu, batu, arus… Belum lagi cerita salah seorang rekan bahwa mereka berhasil menepi tanpa dayung dengan perahu yang amat berat oleh air, setelah mereka berdoa.

Masih banyak sungai-sungai lain yang saya arungi setelah itu. Tapi kejadian di sungai Cicatih ini tak pernah saya lupakan seumur hidup saya. Hingga saat ini, jika malam tiba dan saya sudah bersiap untuk tidur di kasur yang nyaman dan empuk, bayangan golakan air sungai dan suaranya yang menderu kencang kadang masih terngiang di benak saya. Dan saya pun bersyukur pada Tuhan, bahwa Ia masih memberi kami napas, hingga detik ini.

(dipersembahkan untuk rekan seperjalanan: Ujang, Pang, Anton, Dogun, Harlan, Paul)

Feel the fear, and do it anyway (Susan Jeffers)