Pagi itu setelah turun dari Stasiun Kebayoran, saya naik bus Transjakarta berwarna abu-abu. Bus yang terkenal lebih gesit dibandingkan bus gandeng berwarna merah jingga. Lebih gesit maksud saya adalah melaju dengan injakan gas dan rem yang lebih mendadak dengan kecepatan lumayan tinggi.

Seperti biasa, penumpang termasuk saya, berdiri bersisian menghadap tepian jalan. Entah ke sisi kiri atau kanan bus, bukan menghadap arah depan atau belakang. Tentunya dengan posisi demikian, kaki akan lebih kokoh untuk menahan badan saat bus mengerem dan melaju.

Di halte Permata Hijau, seorang wanita muda masuk ke dalam bus. Saya sendiri berdiri di ruang antarpintu dan menghadap ke sisi tempat halte berada. Jadi saya bisa menatapnya saat ia masuk.

Wanita berambut panjang sebahu itu berdiri tepat di depan saya. Uniknya, ia menghadap ke depan, ke arah pengemudi. Tadinya saya tak tertanggu. Namun saat bus melaju dan mengerem, kening saya mulai berkerut.

Saat bis melaju, ia melompat kecil ke belakang. Saat bis mengerem, ia melompat kecil ke depan. Begitu terus berulang kali sepanjang jalan, membuat pandangan mata saya bergerak ke kiri dan ke kanan berulang-ulang jika mengikuti sosoknya.

Ia tak jatuh, tentu saja, karena tangannya memegang kokoh gelang-gelang yang ada di atas kepalanya. Dan lompatan itu terus ia lakukan berkali-kali, seolah malas menahan badan dengan tumpuan kakinya.

Tiba-tiba saya teringat sesuatu dan tak lagi kesal. Saya terkikik geli setiap kali ia melompat ke depan dan ke belakang. Saya jadi terbayang si kecil saat mengikuti kegiatan di Kelompok Bermain beberapa tahun silam.

Ada gerakan meloncat ke depan dan ke belakang meniru kelinci dengan kedua tangan menunjuk ke atas dan diletakkan di atas telinga. Persis seperti si mbak yang sedang meloncat-loncat kecil di hadapan saya ini. Hanya kali ini kelincinya besar sekali.