Bagi saya, Stasiun Pondok Ranji adalah stasiun perjuangan. Para penumpang yang ada di peron pada jam sibuk, harus berjuang keras untuk memasuki gerbong yang telah penuh sesak.

Biasanya, begitu menjejakkan kaki di lantai pintu kereta, penumpang Pondok Ranji harus berbalik badan dan melangkah mundur sambil mendorong penumpang lainnya dengan punggung, agar bisa terangkut ke stasiun berikutnya.

Seringkali hal ini mengundang rutukan dari penumpang yang sudah tergencet di dalam. Tetapi apa daya? Jika para penumpang Pondok Ranji ini mengalah, mereka tak akan terbawa oleh kereta.

Hari itu, saya berangkat agak siang dari Stasiun Rawabuntu. Walau kereta amat lengang, saya tetap tak mendapatkan tempat duduk. Jadilah saya berdiri tepat di sisi pintu.

Sesaat sebelum tiba di Stasiun Pondok Ranji, seperti biasa sebagian penumpang terkumpul di area dekat pintu. Menyisakan lorong yang lowong di tengah gerbong.

Tak lama kemudian, kereta berhenti dan pintu terbuka. Masih banyak saja penumpang yang naik dari peron pada jam seperti ini.

Namun, dari sekian banyak orang, cuma satu penumpang yang menarik perhatian saya. Wanita ini berkemeja lengan panjang dengan motif garis-garis hitam putih. Ia mengenakan rok pendek hitam dengan sepatu manis berwarna krem.

Ia yang bertubuh semampai ini melangkah ke dalam kereta, memutar badannya, dan berjalan mundur di gerbong yang sepi.

Di tengah gerbong ia tersentak, berhenti sambil memandang kiri kanan seolah baru menyadari keadaan gerbong yang lengang. Kemudian baru berjalan, kali ini maju, meraih gelang-gelang yang ada di dekatnya.