Hari ini saya masuk ke bus berwarna abu-abu yang sudah reyot. Pintunya tak menutup dengan sempurna, karena entah mengapa, bilah pintu sebelah kanan tampak condong, sehingga saat menutup, bagian bawahnya masih memperlihatkan celah.

Bagian atas pintu sudah berkarat dan catnya sudah lenyap, sementara ada semacam tambalan di perbatasan antara pintu dan kaca, tampak seperti serat-serat yang diolesi oleh cat abu-abu sesuai warna pintunya.

Tak banyak penumpang yang ada di dalamnya, sehingga semua agak leluasa bergerak. Saya memilih berdiri mendekati pengemudi karena yang lainnya bergerombol di dekat pintu. Mungkin halte tujuan mereka sudah dekat.

Di pertigaan relasi, bus berhenti karena lampu merah menyala. Saya pun memperhatikan sang pengemudi. Di jemari kirinya tampak dua buah cincin dengan batuan berwarna hitam. Sementara di jemari kanan, ia mengenakan cincin berwarna putih susu dan satu lagi entah berwarna apa.

Saat saya penasaran memperhatikan cincin di tangan kanannya, tiba-tiba tangan itu bergerak ke belakang kursinya. Ia mengambil sebuah tongkat bambu kira-kira sepanjang satu lengan orang dewasa. Saya semakin penasaran. Apa lagi yang akan ia perbuat dengan benda itu?

Bambu tersebut ia keluarkan melalui jendela dan disodok-sodokkannya ke spion samping. Dugaan saya, spion tersebut sudah mengendur dan selalu condong ke satu arah. Membuat sang pengemudi harus mengembalikannya ke posisi asalnya dengan bambu. Wah, semoga bapak sering terhenti oleh lampu merah ya, pak.