Depok panas sekali siang itu, saat saya berada di angkutan umum D02 yang sedang menunggu penumpang di kawasan Stasiun Depok Baru.

Angkot biru ini dipenuhi oleh wanita yang tampaknya baru selesai menghabiskan waktu di pasar. Lantai angkot dipenuhi oleh kantong-kantong plastik belanjaan berisi sayur-mayur.

Penumpang terakhir, yang juga seorang wanita, naik dan duduk di bangku kayu dekat punggung pengemudi, kakinya mengarah ke pintu keluar.

Penampilan wanita ini mencolok mata. Sebuah kerudung berwarna-warni menutupi rambutnya yang hitam legam. Ia mengenakan baju biru tua, juga celana hitam.

Di ujung kakinya, sebuah sepatu berwarnarna merah menyala-nyala diterpa mentari pagi, semerah lipstik yang menyepuh bibirnya. Matanya tertutup oleh kacamata hitam besar.

Saat angkot berhenti di perempatan dan menunggu lampu berubah menjadi hijau, ponsel wanta itu berdering. Ia pun berbicara dengan keras, membuat semua mata tertuju kepadanya.

Tiba-tiba angkot melaju, membuatnya terkejut dan kaki kiri bersepatu merahnya ia julurkan tinggi-tinggi ke luar, mungkin untuk menjaga keseimbangan tubuhnya.

“Bu! Awas kakinya!” penumpang di dalam angkot berseru-seru, ngeri membayangkan kakinya tersambar angkot lain yang saling merapat menunggu giliran melaju.

Ia pun menarik kakinya, sambil terkekeh berkata kepada ponselnya, “Iya pak, kaki saya keluar angkot barusan,” lalu melanjutkan obrolannya.

Saat angkot melaju di jalan raya, Ia menengok dan berkata kepada seorang wanita berkaus garis-garis berwarna ungu yang duduk tepat di depan saya.

“Ini mata saya berair terus, gak tau kenapa. Makanya saya pakai kacamata hitam,” ocehnya. Si wanita berkaus garis hanya mengangguk-angguk memaklumi.

TIba-tiba, saat angkot melaju di jalan raya, wanita berkacamata ini bersin berkali-kali dengan nyaringnya. Semua wanita di dalam angkot termasuk saya, berseru-seru kembali dengan kaget.

Bukan karena suara bersinnya, tetapi karena saat bersin, kaki kiri bersepatu merahnya ia angkat tinggi-tinggi, kembali menjulur ke luar angkot yang kali ini melaju cukup kencang.

Wanita tersebut tak peduli. Setelah bersin ia kembali duduk dengan tenang, tak menghiraukan penumpang lain yang mengelus dada, atau bertatap-tatapan kebingungan, bahkan terkikik geli.

Saya pun mengambil kesimpulan, mungkin memang seperti ini gayanya saat kaget.

Ia turun di depan sebuah kantor pegadaian. Penumpang, kembali berseru-seru karena kantong plastik hitam belanjaannya hampir saja tertinggal di angkot sementara sang pengemudi sudah hendak tancap gas.

Akhirnya, sambil menenteng plastiknya, wanita itu berjalan limbung dengan sepatu merahnya yang menyala-nyala. Menyisakan penumpang yang lega ditinggalkannya.