Kali ini saya duduk di gerbong khusus wanita yang meluncur di atas rel sekitar pukul 09.30

Lucunya, ada lima orang ibu dengan bayinya masing-masing. Dua pasang di sebelah saya, tiga pasang lagi tersebar di tempat duduk khusus ibu dan anak serta di tengah gerbong.

Mungkin ini waktu yang cocok untuk membawa balita, karena kereta amat lengang, pikir saya.

Bayi yang tepat ada di sebelah saya menggemaskan. Dengan pakaian serba merah muda dan anting di telinga, ia kadang menatap saya lekat-lekat.

Saat waktunya minum susu, ia tidur di pangkuan ibunya, dengan botol susu di mulut mendongak ke atas, membuat bibirnya hampir menutupi seluruh lubang hidungnya.

Saya hendak mengingatkan si ibu yang sibuk berbincang dengan temannya. Saya takut si kecil tak bisa bernapas.

Tapi tampaknya memang begitu caranya memberikan botol susu. Biarlah, ucap saya dalam hati sambil terus melirik hidungnya dengan was-was. Toh bayi itu tak gelisah.

Setelah kenyang, anak ini diam sepanjang jalan, sampai suatu waktu di antara Stasiun Pondok Ranji dan Kebayoran tiba-tiba ia berkata seperti mengucap “pappaaa!”

Selanjutnya saya terperanjat. Juga para wanita lain di seluruh tempat duduk di depan yang menghadap ke arah saya.

Bukan karena suara si anak, melainkan karena reaksi sang ibu muda setelah mendengar bunyi yang keluar dari mulut anaknya.

“PAPPAAAAAA! PAPPAAAAAA! KAMU KANGEN PAPA YA NAK! UUUH ANAK PINTAAAAR! SEBENTAR LAGI KITA SAMPAI YAAAAA”

Suara yang ia keluarkan amat lantang. Apalagi untuk ukuran perawakan si ibu yang mungil. Mungkin ia terkejut mendengar anaknya berkata papa, hingga tak memedulikan lagi tatapan kaget orang di sekitar akibat suaranya.