14 Juni 2014

Matahari bersinar terik pagi itu, saat sekitar 25 orang dalam rombongan kami memulai pendakian ke Gunung Papandayan, Garut, Jawa Barat. Bentang alam terlihat memukau. Kepulan asap putih bagaikan berlomba-lomba menyentuh langit nan jernih.

“Aku mau jalan sama kakak!” kata Vanya (6) sambil berlari-lari kecil di jalur selepas parkiran, menuju kawah Papandayan. Ini pendakian pertamanya. Saya biarkan dia menggandeng salah seorang peserta dengan pikiran: Ah nanti juga dia lelah di tengah jalan.

Tetapi lama-lama, kok semakin jauh ya dia. Si kakak yang pertama kali menggandengnya sepertinya sudah melambat jalannya. Sekarang dia gantian digandeng sama seseorang: lelaki berbaju kotak-kotak. Sepertinya sih itu baju Dede, pemimpin pendakian kali ini. Agak lega sedikit sambil mencoba untuk jalan lebih cepat.

Saya teriaki dia untuk menunggu. Ia menengok, lalu karena tahu saya akan menyusulnya, ia sengaja makin cepat berjalan. Masih di tepi kawah, di ujung tanjakan, sosok dia yang semakin kecil itu tahu-tahu terlihat berlari-lari kecil sambil melambai-lambaikan tangan seolah terbang. Untungnya di sana masih ada pendaki rombongan kami.

Tak berapa lama kemudian dia berhasil terkejar. Saya tidak tahu apa yang ada di pikirannya. Intinya, ia tak mau duduk beristirahat lama-lama dan ingin berjalan terus dan terus bagai tak kenal lelah. Ketika tiba di pintu Pondok Salada dengan tenda bertebaran di mana-mana dalam waktu 2 jam 15 menit, barulah ia berkata ingin berhenti dan berkemah.

Saat tenda didirikan di ujung area berkemah, ia tak jua mau duduk beristirahat. Ia berlarian ke sana ke mari sambil berfoto ria bersama para pendaki dalam rombongan.

Saya salah sangka sejak pendakian ini direncanakan berbulan lalu. Bukan rasa capek karena menggendongnya yang harus saya hadapi, namun rasa capek karena mengejarnya. Sepertinya lain kali, saya yang butuh jasa porter agar bebas mengejar bandit kecil yang tidak bisa diam ini.